Gerakan mahasiswa sebagai
gerakan massa dalam sejarah Indonesia sebenarnya baru muncul pada tahun 1966.
Namun, jika kita menggunakan definisi yang lebih longgar, di mana yang dimaksud
sebagai gerakan mahasiswa mencakup komunitas sosial yang menjalankan
aktivitasnya dalam upaya berperan dalam proses politik, peran gerakan mahasiswa
sebenarnya sudah lama ada. Yakni, sejak masa kolonialisme. Sebelum kemerdekaan,
sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia pada awalnya sangat terkait dengan
lahirnya gerakan kebangsaan. Kehadiran mereka merupakan produk situasi yang
didorong oleh perubahan sikap politik pemerintah kolonial Belanda dengan
politik etisnya pada 1901. Politik Etis merupakan ganti rugi atas penderitaan
rakyat Indonesia selama di bawah kolonial Belanda, dan dengan politik ini
Belanda ingin memperlihatkan diri memerintah atas dasar moral.
Di bawah politik itu, kaum muda pribumi -khususnya dari kalangan masyarakat atas (ningrat) dan yang bekerja pada pemerintah kolonial - mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di lembaga-lembaga, yang semula hanya boleh dimasuki orang Belanda dan warga asing lainnya. Karena keterbatasan fasilitas akademis di Hindia Belanda, banyak pemuda pribumi yang berhasil lulus dari sekolah menengah atas bantuan pemerintah kolonial di kirim untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi di negeri Belanda.
Di bawah politik itu, kaum muda pribumi -khususnya dari kalangan masyarakat atas (ningrat) dan yang bekerja pada pemerintah kolonial - mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di lembaga-lembaga, yang semula hanya boleh dimasuki orang Belanda dan warga asing lainnya. Karena keterbatasan fasilitas akademis di Hindia Belanda, banyak pemuda pribumi yang berhasil lulus dari sekolah menengah atas bantuan pemerintah kolonial di kirim untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi di negeri Belanda.
Para mahasiswa pribumi
generasi awal inilah, berkat pendidikan yang mereka raih telah memperoleh
kesadaran politik tentang kondisi bangsanya yang terjajah. Suasana pemikiran
tersebut diorientasikan pada proses penyadaran kemanusiaan dan sosialisasi
wacana nasionalisme melalui kelompok-kelompok pergerakan.
Pergerakan nasional dengan
wadah perjuangan yang memiliki struktur pengorganisasian yang modern pertama
kali diperlihatkan oleh Boedi Oetomo, yang didirikan pada 1908. Boedi Oetomo
yang dimotori pemuda dan mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, sebuah
sekolah kedokteran di Jakarta, pada saat itu masih dipengaruhi oleh obsesi
kebesaran budaya Jawa. Namun terlepas dari sisi primordialisme itu, kehadiran
Boedi Oetomo merupakan refleksi dari sikap kritis dan keresahan intelektual.
Pada 1908, para mahasiswa
Indonesia yang sedang belajar di Belanda juga membentuk sebuah organisasi
perhimpunan yang dinamakan Indische Vereeniging. Semula organisasi ini hanya
merupakan pusat kegiatan diskusi bagi para mahasiswa tentang perkembangan
situasi di Tanah Air, namun kemudian berkembang menjadi wadah berorientasi
politik yang jelas untuk kemerdekaan Indonesia. Indische Vereeniging, sejalan
dengan perubahan orientasinya, berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging
pada 1922, dan berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia pada 1925.
Berdasarkan sejumlah masalah
yang diinventarisasikan oleh pengurus Perhimpoenan Indonesia waktu itu, muncul
sikap menentang terhadap penjajah, tidak mau berdamai, serta tak kenal
kerjasama. Semangat itu terlihat dalam pernyataan dasar-dasar Perhimpoenan
Indonesia, yang intinya sebagai berikut:
1.
Masa depan bangsa Indonesia semata-mata tergantung pada susunan pemerintahan
yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
2.
Untuk mencapai itu, setiap orang Indonesia harus berjuang sesuai kemampuan
serta bakatnya, dengan tenaga dan kekuatan sendiri.
3.
Untuk mencapai tujuan bersama itu, semua unsur atau lapisan rakyat perlu kerja
sama seerat-eratnya.
Perluasan jaringan gerakan
politik mahasiswa meningkat setelah di Tanah Air didirikan perguruan tinggi
pertama, yakni Sekolah Tinggi Teknik di Bandung pada 1920, disusul Sekolah
Tinggi Hukum di Jakarta tahun 1924, dan perubahan STOVIA menjadi Fakultas
Kedokteran di Jakarta tahun 1927. Selain karena Politik Etis, pendirian
perguruan-perguruan tinggi ini bertujuan memperoleh tenaga-tenaga menengah
lokal yang diperlukan untuk perluasan ekonomi kolonial, yang kurva
pertumbuhannya berpuncak pada 1920-an.
Serombongan mahasiswa yang
kuliah di negeri Belanda pulang ke Tanah Air pada 1923. Mereka lalu membentuk
kelompok-kelompok studi sebagai kekuatan alternatif pergerakan, karena kecewa
dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan partai-partai politik yang ada, juga
tidak cocok dengan wadah pergerakan pemuda yang bersifat primordial. Pilihan
ini dipengaruhi pertimbangan rasional yang melatarbelakangi suasana politis
waktu itu.
Untuk merekatkan berbagai
wadah kebangsaan, didirikanlah PPPI (Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia)
pada 1926. Ketika itu, belum ada prototip organisasi yang menghimpun
seluruh elemen organisasi gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan, sehingga
PPPI dapat dikatakan pemula. Pada Kongres Pemuda I, Mei 1926, diletakkan
komitmen oleh aktor-aktor gerakan pemuda dan mahasiswa untuk menyisihkan
perbedaan-perbedaan primordial di antara mereka dan menciptakan kesatuan
bangsa. Kemudian pada 28 Oktober 1928, dicetuskan Sumpah Pemuda melalui Kongres
Pemuda II di Jakarta, yang dimotori PPPI.
Jepang masuk ke Indonesia
tahun 1942. Penguasa baru ini melarang semua kegiatan yang berbau politik, dan
membubarkan semua organisasi pelajar dan mahasiswa, serta partai politik.
Banyak perguruan tinggi juga ditutup. Karena kondisi yang lebih represif itu,
mahasiswa memilih melakukan kegiatan berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama.
Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan adalah Asrama Menteng Raya,
Asrama Kebon Sirih, dan Asrama Cikini.Para mahasiswa inilah yang kemudian
menjadi pemuda generasi '45, yang bangkit merebut dan mempertahankan
kemerdekaan dengan cara pemuda.
Sampai
Jepang masuk ke Indonesia, peran politik mahasiswa sangatlah kecil, apalagi
jumlah mereka sangat terbatas, pada waktu itu cuma 637 orang, padahal jumlah
mahasiswa golongan Eropa lebih dari dua kali lipat mahasiswa Indonesia. Harsya
W. Bachtiar malah menyebut angka lebih rendah, 387 orang. Sedangkan Joseph
Fischer menyatakan, jumlah sarjana Indonesia pada permulaan masa kemerdekaan
adalah 1.100 orang.
Sesudah
periode perang kemerdekaan, 1945-1950, pemerintah berusaha mengurangi
ketimpangan peninggalan kolonial ini. Meski demikian, pada masa Demokrasi
Parlementer ini sebagian besar mahasiswa masih dari golongan atas, yang
berlatarbelakang aristokrat, priyayi, dan anak pegawai tinggi pemerintahan.
Karena jumlahnya yang masih sedikit, mahasiswa waktu itu yakin akan tertampung
dalam birokrasi dan sadar akan perannya sebagai elite masa depan. Banyak
aktivis mahasiswa juga punya hubungan dekat dengan elite politik. Dari sisi
subyektif mahasiswa, ini menjelaskan mengapa pada masa demokrasi parlementer
waktu itu praktis tak ada gerakan mahasiswa yang berfungsi politik, yang kritis
terhadap pemerintah.
Pada masa Demokrasi Terpimpin,
terutama setelah tahun 1960, terjadi eksplosi pendidikan dengan meningkatnya
jumlah mahasiswa, karena murid SLTP dan SLTA di tahun 1950-an kini bertumpuk
jumlahnya dan semua ingin menjadi mahasiswa. Jika pada masa sebelumnya istilah
"mahasiswa" identik dengan pekerjaan yang baik dan sukses sosial,
pada 1960-an sebutan "mahasiswa' menjadi lebih egalitarian sifatnya.
Karena birokrasi pemerintah tak lagi sanggup menyerap semua lulusan ini, maka
sarjana-sarjana baru ini beralih diserap ke bidang politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar